Judul Fatmawati Sukarno; The First Lady, menurut
Penulis Arifin Suryo Nugroho dalam bukunya Sang Dwiwarna, Merah Putih, merupakan bendera Indonesia yang mengidentitaskan kebangsaan negaranya. Lebih dari itu, bendera yang bermakna semiotik-filosofis berani dan suci itu menjadi sebuah lambang kebanggaan warga negara Indonesia. Sejarah kemerdekaan Indonesia pun terukir di balik warna merah dan putih tersebut. Sejarah kemerdekaan Indonesia tecermin pula pada penjanjian bendera pusaka tersebut.
Penulis Arifin Suryo Nugroho dalam bukunya Sang Dwiwarna, Merah Putih, merupakan bendera Indonesia yang mengidentitaskan kebangsaan negaranya. Lebih dari itu, bendera yang bermakna semiotik-filosofis berani dan suci itu menjadi sebuah lambang kebanggaan warga negara Indonesia. Sejarah kemerdekaan Indonesia pun terukir di balik warna merah dan putih tersebut. Sejarah kemerdekaan Indonesia tecermin pula pada penjanjian bendera pusaka tersebut.
Adalah Fatmawati, seorang perempuan
Indonesia yang menjahit bendera tersebut sehingga pada 17 Agustus 1945,
proklamasi kemerdekaan Indonesia dimeriahkan dengan pengibaran bendera.
Meskipun bendera tersebut tidak sesuai dengan standar ukuran bendera
yang seharusnya, kain dua warna yang terjahit menjadi satu itu kemudian
menjadi bendera yang sangat disakralkan oleh bangsa Indonesia. Nama
Fatmawati pun tercatat dalam sejarah sebagai wanita penjahit bendera
pusaka.
Arifin Suryo Nugroho, melalui bukunya
berjudul Fatmawati Sukarno; The First Lady, menguraikan biografi sang
penjahit bendera tersebut dengan ulasan yang menarik. Fatmawati, seorang
wanita asli Indonesia yang telah berjasa menjahit bendera pusaka
tersebut, merupakan perempuan penting dalam sejarah kemer-dekaan
Indonesia.
Fatmawati sebagai ibu negara setelah
Soekarno dipilih menjadi presiden Indonesia yang pertama, dengan setia
mendampingi sang suami tersebut. Hingga akhirnya, prahara rumah tangga
pun terjadi. Kehadiran Hartini telah mengguncang rumah tangga
Soekarno-Fatmawati. Hingga akhirnya Fatmawati memilih keluar dari istana
dan hidup menyendiri tanpa Soekarno. Meski demikian, cinta Fatmawati
terhadap Soekarno tidaklah sirna. Begitu juga dengan cinta Soekarno
kepada Fatmawati, hanya saja telah terbelah kepada Hartini yang kemudian
menyusul Haryati, Yurike, dan Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi.
Semenjak itu, Fatmawati hidup tanpa sosok
suami di dalam rumahnya meskipun status perikahannya belumlah terputus
atau diceraikan. Namun, Fatmawati yang bersikap an-tipoligami tetap
berkeras kepala untuk tidak kembali lagi ke istana. Hingga akhirnya
situasi politik di Indonesia pun kacau dan banyak fitnah.
Soekarno sebagai presiden pikirannya
terforsir oleh situasi politik yang kacau tersebut sehingga sangat
menyibukkan dirinya. Kekacauan itu melonjak pada klimaksnya ketika
Soekarno dikudeta oleh Soeharto dengan legitimasi Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar). Mulai saat itu, kesehatan Soekarno pun terus
menurun dan mengantarkannya ke gerbang ajal.
Kepergian Soekarno menjadi tekanan dan
pukulan bagi Fatmawati. Meskipun cinta Soekarno telah terbelah,
Fatmawati masih menaruh rasa cinta pada sang proklamator kemerdekaan
Indonesia tersebut. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak untuk
mengulas biografi Fatmawati yang pernah men]adifirst lady di Indonesia.
Dari biografi tersebut, banyak pelajaran yang dapat diambil tentang
sosok Fatmawati dan selebihnya sejarah Indonesia dari masa penjajahan
Belanda, Jepang, hingga setelah kemerdekaan. Selain itu, para pembaca
akan dikenalkan dengan sejarah Indonesia yang dibaca dari sisi Fatmawati
sebagai pemeran utamanya. Peresensi adalah Supriyadi,pengamat sosial
pada Fakultas Tarbiyah Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar